Jumat, 18 November 2011

Mengajar Itu Menyenangkan...


Mengajar adalah hal yang menyenangkan, dengan mengajar kita bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan anak didik kita, kita bisa mengevaluasi kepercayaan dan kompetensi diri, belajar memahami dan menghargai karakteristik anak didik yang beragam, belajar mengatur dan mengelola kelompok, dan belajar menciptakan suasana yang menyenangkan. Itulah sebabnya setelah tamat S1 saya memilih beraktifitas dalam dunia belajar-mengajar. Saya menjadi staf pengajar di salah satu Sekolah Tinggi di Aceh Tengah, mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan, di saat yang sama saya juga menjadi kepala sekolah sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sekretaris sebuah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT).

Sangat jauh berbeda rasanya mengajar anak PAUD/TK dengan mengajar mahasiswa. Mengajar anak PAUD/TK membutuhkan kesabaran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang seakan tak ada habisnya. Membutuhkan kesabaran saat mengajarkan mereka arti berbagi dan saling memahami, namun akan selalu tersenyum melihat polos dan lucunya tingkah laku mereka. Sedangkan saat mengajar mahasiswa kita harus mampu memotivasi mereka agar senantiasa haus akan pengetahuan-pengetahuan baru, senantiasa belajar untuk berfikir kritis dan analitis. Namun bagaimana pun berbedanya kondisi anak PAUD/TK dan mahasiswa, satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa mereka sama-sama membutuhkan kreatifitas kita dalam menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.

Untuk itulah seorang pendidik harus mengetahui berbagai strategi mengajar, jeli melihat kondisi yang ada hingga mampu menciptakan suasana yang menyenangkan. Karena memang strategi mengajar memegang peranan penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar, strategi mengajar yang digunakan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar. 

Keaktifan di sebuah lembaga pengelolaan traning sangat membantu saya dalam mengajar. Pengalaman mengelola dan mengisi training membuat saya sedikit banyaknya belajar bagaimana cara mendesain training/merencanakan pengajaran, mengenali peserta, mengelola kelas, menentukan metode apa yang akan digunakan, kapan saat yang tepat memberikan ice breaker, bagaimana memancing keaktifan peserta, bagaimana mengajukan dan menjawab pertanyaan, dan sebagainya.

Namun feeling yang dirasakan saat berdiri di depan kelas sebagai pengajar tunggal dengan sebagai bagian dalam sebuah tim pengajar sangat jauh berbeda. Saat menjadi pengajar tunggal, kita menjadi satu-satunya pengelola yang menentukan bagaimana jalannya proses belajar mengajar. Semua dilakukan sesuai dengan persepsi, tujuan, dan rencana pribadi. Saat menjadi bagian dari tim pengajar, semua yang dilakukan haruslah sesuai dengan kesepakatan tim. Ketika ide kita ternyata tidak sesuai dengan kesepakatan tim, sangatlah tidak bijak jika bersikeras memaksakan kehendak. Karena kesatuan personil akan memperkokoh bangunan tim. Namun ketika pikiran kita blocking, rekan-rekan tim bisa membantu kita menemukan jalan keluar...

Seperti pengalaman mengajar dalam tim yang kemarin saya alami. Kegiatan ini merupakan tugas dari mata kuliah pendidikan kontekstual. Kami terdiri dari 4 orang pengajar yang akan memberikan materi kepada sebuah kelas yang berjumlah 12 orang mahasiswa. Pelajaran berlangsung pukul 15.00-16.30 WIB. Jam lelah dan ngantuk….

Pada tahap awal kami berdiskusi mengenai metode apa yang akan diberikan. Bagi saya, ketika mengajar yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar anak didik kita memahami inti dari pelajaran, walaupun berbagai macam metode yang digunakan namun pemahaman akan inti pelajaran tidak boleh dilupakan. Karena adakalanya pengajar terlalu fokus pada keinginan menciptakan kondisi kelas yang menyenangkan tanpa memperhatikan esensi pelajaran, hingga ruangan kelas seolah-olah menjadi pentas opera van java yang hanya diisi tawa dan canda. Walaupun saya punya bayangan ide untuk metode yang akan kami gunakan, tapi karena ide tersebut belum utuh dan fokus, saya mengikuti ide dari salah seorang anggota kelompok, hingga kami sepakat memutuskan untuk menggunakan metode simulasi. Walaupun saya memperkirakan dengan metode yang kami sepakati peserta hanya akan membawa sedikit sekali bekal pemahaman materi.

Sebelumnya kami belum pernah berkenalan langsung dengan peserta, hingga kami benar-benar tidak mengetahui bagaimana karakter masing-masing mereka, kecuali berdasarkan info dari dosen pengampu mata kuliah. Saya punya ide sendiri bagaimana agar lebih dekat dengan mereka hingga mereka tidak terlalu canggung berinteraksi nantinya, istilahnya sedikit “membuka topeng” mereka agar mereka tidak terlalu kaku. Karena pengalaman yang saya dapatkan selama mengelola dan mengisi training, tahap pertemuan awal untuk sedikit membuka “topeng” peserta merupakan tahap yang penting agar kegiatan selanjutnya tidak berlangsung 1 arah, agar peserta merasa memiliki forum dan dapat terlibat aktif di setiap kegiatan nantinya, walaupun memang untuk membuka topeng mereka tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat atau dalam 1 kali pertemuan/kegiatan saja. Ketika ternyata ide yang saya miliki berbeda dengan ide rekan-rekan pengajar yang lain ya sudahlah, saya mencoba bersikap bijak untuk tidak memaksakan kehendak. Dan hasilnya sudah saya duga, peserta terlihat kaku selama pelajaran berlangsung, kecuali di bagian akhir ketika games penutupan.

Selama mengajar, kami berusaha agar peserta terlibat aktif, namun apapun usaha yang kami lakukan, peserta tetap kalem, bahkan untuk bertanya pun mereka terlihat canggung. Hm… Karena melihat wajah-wajah bingung mereka kami pun harus menuju ke setiap kelompok untuk memastikan apakah mereka memahami tugas yang kami berikan, dan ternyata setiap kelompok memang tidak memahami tugas yang kami berikan, dalam hati saya sedikit miris, kalau tidak mengerti kenapa tidak bertanya?

Ketika diinstruksikan untuk maju kedepan kelas, awalnya tidak satupun kelompok yang bersedia maju, karena memang dalam pengamatan saya mereka belum menyelesaikan tugasnya, namun kemudian satu kelompok mengajukan diri untuk maju, Alhamdulillah…,

Setelah semua kelompok maju dan menjelaskan hasil diskusi masing-masing kelompok, untuk memecahkan kebekuan suasana, kami memberikan games penutupan, saat games berlangsung peserta terlihat antusias dan menikmati games yang kami berikan, dalam hati saya berujar “seandainya games nya diberikan di awal, tentu peserta tidak akan sekaku tadi…

Yang jelas, pengalaman kemarin memberikan nuansa kerinduan bagi saya untuk kembali mengajar dan mengelola training…tapi kapan ya? Paling hanya mengisi kegiatan keputrian yang bisa saya lakukan. Beberapa hari yang lalu adik-adik di lembaga pengelolaan training memang meminta saya ikut mengelola Training of Trainer (TOT) yang akan diadakan tanggal 25-27 November ini, ingin sekali rasanya ikut mengelola training tersebut bersama mereka, namun kondisi saya yang sedang hamil muda membuat saya memutuskan untuk tidak ikut mengelola training karena saya yakin tidak akan sanggup mengelola training yang menuntut aktifitas nyaris full day selama 3 hari, capek…..

1 komentar:

  1. Rena...
    belajar sepanjang hayat....
    jika pengalaman telah memberimu referensi, yakini bahwa keunikan akan selalu menjadi kekayaan dalam proses pembelajaran....bagi kita, pengampu, pendidik, peserta didik.
    Kontekstual sesuatu yang sangat luas....
    terus berjuang dan perkaya pengetahuan serta pengalaman sebagai bekal untuk menjalani life long learning...

    sukses Rena...

    BalasHapus