Senin, 05 Desember 2011

TVE Ditinjau dari Konsep Teknologi Pendidikan

Berapa lama kita menonton TV dalam satu hari? Satu jam? Dua jam? Lima jam? Atau 24 jam? Hm….kecuali mungkin anak kos yang nggak punya TV yang dalam satu minggu sama sekali nggak menikmati siaran TV, hehe,

Tahukah kita? Ternyata kebanyakan kegiatan menonton TV cenderung tidak terencana dan bersifat tak sadar. Tiap kali mempunyai waktu luang, kita langsung merebahkan diri di sofa dan menekan tombol TV. Dalam banyak keluarga, TV dinyalakan begitu salah satu anggota bangun tidur atau memasuki rumah, tak peduli ada yang menonton atau tidak. Televisi jadi nyaris seperti radio, peralatan yang memainkan video musik sementara para anggota keluarga keluar masuk ruangan, hilir mudik dari dan ke lemari es, dan mengobrol di televisi. Televisi hidup dari hari ke hari tanpa disadari (Chen dalam Pitaloka, 2008).

Dalam studi yang dilakukan oleh Pitaloka (2008), ternyata ditemukan dua kecenderungan dalam menonton televisi pada remaja, yakni secara sadar dan tidak sadar. Penelitian yang melibatkan subyek dari usia 13-20 tahun ini mengungkapkan televisi sebagai media hiburan yang mereka nikmati tanpa melakukan aktivitas lain, sementara yang lain menikmati 'sambil lalu' atau seperti yang dikemukakan Chen yakni tanpa disadari. Selain itu, adanya acara televisi favorit membuat mereka harus menjadwal ulang kegiatan pada hari acara tersebut ditayangkan, sementara aspek kognisi, afeksi dan konasi juga terlibat pada saat menyaksikan acara televisi (Pitaloka, 2001).

Perilaku pada remaja tersebut sedikit banyak merupakan refleksi perjalanan 'kebiasaan' mereka berperilaku terhadap pesawat televisi sejak dini. Untuk mencegah terbentuknya perilaku menonton televisi tak sadar hingga sang anak beranjak dewasa dan harus memutuskan banyak hal dalam kehidupan, salah satu sisi kehidupan yang nampaknya sepele; 'menonton televisi', seharusnya menjadi potensi yang dapat dikembangkan secara positif sejak dini.

Sebagai media, televisi memiliki empat fungsi, yakni fungsi komersial, alat hiburan, penyampai informasi, dan edukasi. Sayangnya, fungsi yang terakhir, yakni edukasi, kerap terabaikan, padahal kalau dimanfaatkan untuk edukasi, TV bisa berperan yang luar biasa. Nah menyadari pentingnya peran TV dalam edukasi, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) memulai siaran TV Edukasi (TVE), yang bisa dimanfaatkan oleh semua pihak, baik guru, siswa, maupun orang tua. Btw tau kan TVE? Gawat nih klo nggak tau,

Nah, pembelajaran dengan mempergunakan TVE penting dilakukan, karena dengan mempergunakan tayangan TVE dalam pembelajaran, maka guru dapat terbantu untuk menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dibawa guru di kelas karena obyek pembelajaran terlalu kecil (misal: sel, atom, unsur, jaringan, dll), obyek pembelajaran terlalu besar (misal: gunung, samudra, pesawat udara, dll), kendala geografis (misal: hutan, jurang, pulau terpencil, dll), berbahaya (misal: bencana alam, ledakan nuklir, dll), informasi dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak pernah didapat guru semasa sekolah ataupun kuliah (misal:semangka berbentuk kubus atau balok). Melalui tayangan siaran televisi seperti tersebut di atas, siswa dapat memperoleh manfaat yaitu semakin luasnya khasanah pengetahuan atau wawasan serta memperoleh tambahan pengetahuan di luar yang diperoleh dari gurunya.

Misalnya siaran di bawah ini,


Kebayang kan besarnya manfaat TVE dalam pendidikan? Itu baru satu contoh siaran, masih banyak lagi siaran lainnya….

O iya, ada yang pernah dengar istilah teknologi pendidikan? Kebanyakan orang mengartikan teknologi pendidikan sebagai peralatan IT atau mesin yang digunakan dalam pendidikan, padahal yang dimaksud dengan teknologi pendidikan tidak sesempit itu, Percival & Ellington (1984) menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah pengembangan, penerapan dan evaluasi atas sistem, tehnik, serta alat bantu untuk meningkatkan proses belajar (manusia), hm…cakupannya sangat luas, lebih dari sekedar perangkat keras. Unsur-unsurnya terdiri dari proses belajar, penciptaan kondisi belajar yang teruji, penyediaan produk belajar dan sistem penyampaiannya, serta penyediaan sumber-sumber belajar lainnya.

Karena TVE juga merupakan bentuk dari teknologi pendidikan, unsur-unsur teknologi pendidikan tersebut dapat dikaitkan dengan program TVE. Dalam hal proses belajar, proses belajar yang dilakukan individu bersifat personal, seseorang bisa mempersepsi dan menyerap informasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Perubahan perilaku, kognitif dan skill sebagai hasil dari proses belajar juga akan berbeda-beda, tergantung bagaimana individu melakukan proses belajarnya. Dan yang jelas tidak ada kriteria kelulusan atau standar nilai yang diberikan dalam proses belajar individu tersebut.

Kondisi belajar yang tercipta dari program TVE juga sangat menyenangkan. Program-program yang ada dapat dimanfaatkan sebagai bahan belajar/mengajar yang bisa dinikmati kapan saja seseorang mau, bisa pagi, siang, atau pun malam, tidak harus menunggu duduk di bangku sekolah dulu, ia juga dapat menikmatinya di rumah dengan kondisi yang santai, bukan kondisi formal seperti di sekolah. 

Materi-materi yang disampaikan dalam program TVE sangat bermanfaat dalam menunjang bahan belajar siswa. Jika di sekolah siswa belajar mengenai konsep pemahaman akan suatu hal, maka melalui TVE siswa dapat menambah wawasannya dengan informasi yang lebih kaya, misalnya siaran di atas, siswa di ajak melihat percobaan dengan cahaya senter, siswa juga di ajak mengenal peralatan yang berhubungan dengan PLT Matahari, dan siswa bisa mengetahui ukuran sebenarnya dari peralatan tersebut, jika di sekolah, mungkin siswa hanya melihatnya dari gambar atau poster, dan siswa akan sulit memastikan ukuran asli dari benda tersebut. selain itu siswa juga di ajak mewawancari seorang tokoh, dan tentu saja semua hal ini akan sangat kecil kemungkinannya didapatkan siswa di sekolah.  

Tau istilah E-learning? Naidu (2003) menyatakan bahwa e-learning mengacu pada penggunaan jaringan teknologi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar. Romizowski (dalam Naidu, 2003) menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) pola dalam e-learning, yaitu:
1.      Individualized self-paced e-learning online, yaitu situasi dimana individu belajar dengan menggunakan sumber-sumber atau data base melalui internet atau intranet. Misalnya siswa belajar sendiri dengan menggunakan sumber-sumber dari internet atau local network.
2.      Individualized self-paced e-learning offline, yaitu situasi dimana individu belajar sendiri dengan menggunakan data base atau secara offline, yang tidak terkoneksi dengan jaringan internet atau intranet. Misalnya individu belajar dari CD atau DVD.
3.      Group-based e-learning synchronously, yaitu situasi dimana sekelompok individu belajar bersama dalam waktu yang sama dengan menggunakan internet atau intranet. misalnya sekelompok individu melakukan chatting  atau audio-videoconference.
4.      Group-based e-learning asynchronously, yaitu situasi dimana sekelompok individu belajar dengan terhubung kepad internet atau intranet, namun ada jeda waktu diantaranya, misalnya diskusi melalui mailing list atau email.

Jika dikaitkan dengan pola e-Learning menurut Romizowski tersebut, maka TVE termasuk pada pola yang pertama, yaitu Individualized self-paced e-learning online, situasi dimana individu belajar dengan menggunakan sumber-sumber atau data base melalui internet atau intranet, karena individu belajar melalui TV.




Naidu, Som. 2008. Commonwealth of Learning. New Delhi: Commonwelth Educational Media Center for Asia (CEMCA)

Sumber: Pitaloka.2008. Diet TV Bagi Keluarga. http://www.epsikologi.com/epsi/anak_detail.asp?id=515

Warsihna, dkk. 2008. Modul Pelatihan Pustekkom Televisi Edukasi (TVE) dan Radio Edukasi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional


Jumat, 18 November 2011

Mengajar Itu Menyenangkan...


Mengajar adalah hal yang menyenangkan, dengan mengajar kita bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan anak didik kita, kita bisa mengevaluasi kepercayaan dan kompetensi diri, belajar memahami dan menghargai karakteristik anak didik yang beragam, belajar mengatur dan mengelola kelompok, dan belajar menciptakan suasana yang menyenangkan. Itulah sebabnya setelah tamat S1 saya memilih beraktifitas dalam dunia belajar-mengajar. Saya menjadi staf pengajar di salah satu Sekolah Tinggi di Aceh Tengah, mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan, di saat yang sama saya juga menjadi kepala sekolah sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan sekretaris sebuah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT).

Sangat jauh berbeda rasanya mengajar anak PAUD/TK dengan mengajar mahasiswa. Mengajar anak PAUD/TK membutuhkan kesabaran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang seakan tak ada habisnya. Membutuhkan kesabaran saat mengajarkan mereka arti berbagi dan saling memahami, namun akan selalu tersenyum melihat polos dan lucunya tingkah laku mereka. Sedangkan saat mengajar mahasiswa kita harus mampu memotivasi mereka agar senantiasa haus akan pengetahuan-pengetahuan baru, senantiasa belajar untuk berfikir kritis dan analitis. Namun bagaimana pun berbedanya kondisi anak PAUD/TK dan mahasiswa, satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa mereka sama-sama membutuhkan kreatifitas kita dalam menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.

Untuk itulah seorang pendidik harus mengetahui berbagai strategi mengajar, jeli melihat kondisi yang ada hingga mampu menciptakan suasana yang menyenangkan. Karena memang strategi mengajar memegang peranan penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar, strategi mengajar yang digunakan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar. 

Keaktifan di sebuah lembaga pengelolaan traning sangat membantu saya dalam mengajar. Pengalaman mengelola dan mengisi training membuat saya sedikit banyaknya belajar bagaimana cara mendesain training/merencanakan pengajaran, mengenali peserta, mengelola kelas, menentukan metode apa yang akan digunakan, kapan saat yang tepat memberikan ice breaker, bagaimana memancing keaktifan peserta, bagaimana mengajukan dan menjawab pertanyaan, dan sebagainya.

Namun feeling yang dirasakan saat berdiri di depan kelas sebagai pengajar tunggal dengan sebagai bagian dalam sebuah tim pengajar sangat jauh berbeda. Saat menjadi pengajar tunggal, kita menjadi satu-satunya pengelola yang menentukan bagaimana jalannya proses belajar mengajar. Semua dilakukan sesuai dengan persepsi, tujuan, dan rencana pribadi. Saat menjadi bagian dari tim pengajar, semua yang dilakukan haruslah sesuai dengan kesepakatan tim. Ketika ide kita ternyata tidak sesuai dengan kesepakatan tim, sangatlah tidak bijak jika bersikeras memaksakan kehendak. Karena kesatuan personil akan memperkokoh bangunan tim. Namun ketika pikiran kita blocking, rekan-rekan tim bisa membantu kita menemukan jalan keluar...

Seperti pengalaman mengajar dalam tim yang kemarin saya alami. Kegiatan ini merupakan tugas dari mata kuliah pendidikan kontekstual. Kami terdiri dari 4 orang pengajar yang akan memberikan materi kepada sebuah kelas yang berjumlah 12 orang mahasiswa. Pelajaran berlangsung pukul 15.00-16.30 WIB. Jam lelah dan ngantuk….

Pada tahap awal kami berdiskusi mengenai metode apa yang akan diberikan. Bagi saya, ketika mengajar yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar anak didik kita memahami inti dari pelajaran, walaupun berbagai macam metode yang digunakan namun pemahaman akan inti pelajaran tidak boleh dilupakan. Karena adakalanya pengajar terlalu fokus pada keinginan menciptakan kondisi kelas yang menyenangkan tanpa memperhatikan esensi pelajaran, hingga ruangan kelas seolah-olah menjadi pentas opera van java yang hanya diisi tawa dan canda. Walaupun saya punya bayangan ide untuk metode yang akan kami gunakan, tapi karena ide tersebut belum utuh dan fokus, saya mengikuti ide dari salah seorang anggota kelompok, hingga kami sepakat memutuskan untuk menggunakan metode simulasi. Walaupun saya memperkirakan dengan metode yang kami sepakati peserta hanya akan membawa sedikit sekali bekal pemahaman materi.

Sebelumnya kami belum pernah berkenalan langsung dengan peserta, hingga kami benar-benar tidak mengetahui bagaimana karakter masing-masing mereka, kecuali berdasarkan info dari dosen pengampu mata kuliah. Saya punya ide sendiri bagaimana agar lebih dekat dengan mereka hingga mereka tidak terlalu canggung berinteraksi nantinya, istilahnya sedikit “membuka topeng” mereka agar mereka tidak terlalu kaku. Karena pengalaman yang saya dapatkan selama mengelola dan mengisi training, tahap pertemuan awal untuk sedikit membuka “topeng” peserta merupakan tahap yang penting agar kegiatan selanjutnya tidak berlangsung 1 arah, agar peserta merasa memiliki forum dan dapat terlibat aktif di setiap kegiatan nantinya, walaupun memang untuk membuka topeng mereka tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat atau dalam 1 kali pertemuan/kegiatan saja. Ketika ternyata ide yang saya miliki berbeda dengan ide rekan-rekan pengajar yang lain ya sudahlah, saya mencoba bersikap bijak untuk tidak memaksakan kehendak. Dan hasilnya sudah saya duga, peserta terlihat kaku selama pelajaran berlangsung, kecuali di bagian akhir ketika games penutupan.

Selama mengajar, kami berusaha agar peserta terlibat aktif, namun apapun usaha yang kami lakukan, peserta tetap kalem, bahkan untuk bertanya pun mereka terlihat canggung. Hm… Karena melihat wajah-wajah bingung mereka kami pun harus menuju ke setiap kelompok untuk memastikan apakah mereka memahami tugas yang kami berikan, dan ternyata setiap kelompok memang tidak memahami tugas yang kami berikan, dalam hati saya sedikit miris, kalau tidak mengerti kenapa tidak bertanya?

Ketika diinstruksikan untuk maju kedepan kelas, awalnya tidak satupun kelompok yang bersedia maju, karena memang dalam pengamatan saya mereka belum menyelesaikan tugasnya, namun kemudian satu kelompok mengajukan diri untuk maju, Alhamdulillah…,

Setelah semua kelompok maju dan menjelaskan hasil diskusi masing-masing kelompok, untuk memecahkan kebekuan suasana, kami memberikan games penutupan, saat games berlangsung peserta terlihat antusias dan menikmati games yang kami berikan, dalam hati saya berujar “seandainya games nya diberikan di awal, tentu peserta tidak akan sekaku tadi…

Yang jelas, pengalaman kemarin memberikan nuansa kerinduan bagi saya untuk kembali mengajar dan mengelola training…tapi kapan ya? Paling hanya mengisi kegiatan keputrian yang bisa saya lakukan. Beberapa hari yang lalu adik-adik di lembaga pengelolaan training memang meminta saya ikut mengelola Training of Trainer (TOT) yang akan diadakan tanggal 25-27 November ini, ingin sekali rasanya ikut mengelola training tersebut bersama mereka, namun kondisi saya yang sedang hamil muda membuat saya memutuskan untuk tidak ikut mengelola training karena saya yakin tidak akan sanggup mengelola training yang menuntut aktifitas nyaris full day selama 3 hari, capek…..