Mengajar adalah hal
yang menyenangkan, dengan mengajar kita bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman
dengan anak didik kita, kita bisa mengevaluasi kepercayaan dan kompetensi diri,
belajar memahami dan menghargai karakteristik anak didik yang beragam, belajar
mengatur dan mengelola kelompok, dan belajar menciptakan suasana yang
menyenangkan. Itulah sebabnya setelah tamat S1 saya memilih beraktifitas dalam
dunia belajar-mengajar. Saya menjadi staf pengajar di salah satu Sekolah Tinggi
di Aceh Tengah, mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan, di saat yang sama
saya juga menjadi kepala sekolah sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
dan sekretaris sebuah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT).
Sangat jauh berbeda
rasanya mengajar anak PAUD/TK dengan mengajar mahasiswa. Mengajar anak PAUD/TK
membutuhkan kesabaran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang seakan
tak ada habisnya. Membutuhkan kesabaran saat mengajarkan mereka arti berbagi
dan saling memahami, namun akan selalu tersenyum melihat polos dan lucunya tingkah laku mereka. Sedangkan saat mengajar mahasiswa kita harus mampu
memotivasi mereka agar senantiasa haus akan pengetahuan-pengetahuan baru,
senantiasa belajar untuk berfikir kritis dan analitis. Namun bagaimana pun
berbedanya kondisi anak PAUD/TK dan mahasiswa, satu hal yang tidak boleh
dilupakan, bahwa mereka sama-sama membutuhkan kreatifitas kita dalam menciptakan suasana belajar-mengajar
yang menyenangkan.
Untuk itulah seorang
pendidik harus mengetahui berbagai strategi mengajar, jeli melihat kondisi yang
ada hingga mampu menciptakan suasana yang menyenangkan. Karena memang strategi
mengajar memegang peranan penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar,
strategi mengajar yang digunakan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan
belajar.
Keaktifan di sebuah
lembaga pengelolaan traning sangat membantu saya dalam mengajar.
Pengalaman mengelola dan mengisi training membuat saya sedikit banyaknya belajar bagaimana cara mendesain training/merencanakan pengajaran, mengenali
peserta, mengelola kelas, menentukan metode apa yang akan digunakan, kapan saat
yang tepat memberikan ice breaker, bagaimana
memancing keaktifan peserta, bagaimana mengajukan dan menjawab pertanyaan, dan
sebagainya.
Namun feeling yang dirasakan saat berdiri di
depan kelas sebagai pengajar tunggal dengan sebagai bagian dalam sebuah tim
pengajar sangat jauh berbeda. Saat
menjadi pengajar tunggal, kita menjadi satu-satunya pengelola yang menentukan
bagaimana jalannya proses belajar mengajar. Semua dilakukan sesuai dengan
persepsi, tujuan, dan rencana pribadi. Saat menjadi bagian dari tim pengajar,
semua yang dilakukan haruslah sesuai dengan kesepakatan tim. Ketika ide kita
ternyata tidak sesuai dengan kesepakatan tim, sangatlah tidak bijak jika
bersikeras memaksakan kehendak. Karena kesatuan personil akan memperkokoh
bangunan tim. Namun ketika pikiran kita blocking, rekan-rekan tim bisa membantu kita menemukan jalan keluar...
Seperti pengalaman
mengajar dalam tim yang kemarin saya alami. Kegiatan ini merupakan tugas dari
mata kuliah pendidikan kontekstual. Kami terdiri dari 4 orang pengajar yang
akan memberikan materi kepada sebuah kelas yang berjumlah 12 orang mahasiswa. Pelajaran
berlangsung pukul 15.00-16.30 WIB. Jam lelah dan ngantuk….
Pada tahap awal kami
berdiskusi mengenai metode apa yang akan diberikan. Bagi saya, ketika mengajar
yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar anak didik kita memahami inti
dari pelajaran, walaupun berbagai macam metode yang digunakan namun pemahaman
akan inti pelajaran tidak boleh dilupakan. Karena adakalanya pengajar terlalu
fokus pada keinginan menciptakan kondisi kelas yang menyenangkan tanpa
memperhatikan esensi pelajaran, hingga ruangan kelas seolah-olah menjadi pentas
opera van java yang hanya diisi tawa
dan canda. Walaupun saya punya bayangan ide untuk metode yang akan kami
gunakan, tapi karena ide tersebut belum utuh dan fokus, saya mengikuti ide dari salah seorang anggota kelompok, hingga kami sepakat memutuskan untuk menggunakan metode simulasi.
Walaupun saya memperkirakan dengan metode yang kami sepakati peserta hanya akan membawa
sedikit sekali bekal pemahaman materi.
Sebelumnya kami
belum pernah berkenalan langsung dengan peserta, hingga kami benar-benar tidak mengetahui bagaimana karakter masing-masing mereka, kecuali berdasarkan info dari
dosen pengampu mata kuliah. Saya punya ide sendiri bagaimana agar lebih dekat
dengan mereka hingga mereka tidak terlalu canggung berinteraksi nantinya,
istilahnya sedikit “membuka topeng” mereka agar mereka tidak terlalu kaku.
Karena pengalaman yang saya dapatkan selama mengelola dan mengisi training,
tahap pertemuan awal untuk sedikit membuka “topeng” peserta merupakan tahap
yang penting agar kegiatan selanjutnya tidak berlangsung 1 arah, agar peserta
merasa memiliki forum dan dapat terlibat aktif di setiap kegiatan nantinya,
walaupun memang untuk membuka topeng mereka tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat atau dalam 1
kali pertemuan/kegiatan saja. Ketika ternyata ide yang saya miliki berbeda
dengan ide rekan-rekan pengajar yang lain ya sudahlah, saya mencoba bersikap
bijak untuk tidak memaksakan kehendak. Dan hasilnya sudah saya duga, peserta
terlihat kaku selama pelajaran berlangsung, kecuali di bagian akhir ketika
games penutupan.
Selama mengajar, kami
berusaha agar peserta terlibat aktif, namun apapun usaha yang kami lakukan,
peserta tetap kalem, bahkan untuk bertanya pun mereka terlihat canggung. Hm…
Karena melihat wajah-wajah bingung mereka kami pun harus menuju ke setiap
kelompok untuk memastikan apakah mereka memahami tugas yang kami berikan, dan
ternyata setiap kelompok memang tidak memahami tugas yang kami berikan, dalam
hati saya sedikit miris, kalau tidak mengerti kenapa tidak bertanya?
Ketika
diinstruksikan untuk maju kedepan kelas, awalnya tidak satupun kelompok yang
bersedia maju, karena memang dalam pengamatan saya mereka belum menyelesaikan
tugasnya, namun kemudian satu kelompok mengajukan diri untuk maju,
Alhamdulillah…,
Setelah semua
kelompok maju dan menjelaskan hasil diskusi masing-masing kelompok, untuk memecahkan kebekuan suasana, kami memberikan games penutupan, saat games berlangsung peserta terlihat
antusias dan menikmati games yang
kami berikan, dalam hati saya berujar “seandainya
games nya diberikan di awal, tentu peserta tidak akan sekaku tadi…”
Yang jelas,
pengalaman kemarin memberikan nuansa kerinduan bagi saya untuk kembali mengajar
dan mengelola training…tapi kapan ya? Paling hanya mengisi kegiatan keputrian
yang bisa saya lakukan. Beberapa hari yang lalu adik-adik di lembaga
pengelolaan training memang meminta saya ikut mengelola Training of Trainer (TOT) yang akan diadakan tanggal 25-27 November
ini, ingin sekali rasanya ikut mengelola training tersebut bersama mereka, namun kondisi saya yang sedang hamil muda membuat saya memutuskan untuk
tidak ikut mengelola training karena saya yakin tidak akan sanggup
mengelola training yang menuntut aktifitas nyaris full day selama 3 hari,
capek…..